Sabtu, 05 Maret 2011

Sejarah Gereja, Anti Reformasi dan Vatikan II

HUBUNGAN PAUS YOHANES XXIII
DENGAN KONSILI VATIKAN II
(oleh: Erick M. Sila)


I. Pendahuluan
Abad XX merupakan abad yang sulit bagi Gereja. Kurun waktu antara Perang Dunia II, Gereja mengalami banyak penderitaan di samping masalah sosial dan ekonomi yang melanda dunia.
Selama tahun 1950-an studi teologi biblikal Roma katolik mulai memasuki pembaharuan sejak Konsili Vatikan I hingga memasuki abad XX. Pada waktu yang sama, para uskup sendiri mengalami tantangan yang sangat besar dalam bidang politik, sosial dan ekonomi. Beberapa uskup mengusulkan serta mengupayakan pembaharuan dalam struktur dan praktek dalam Gereja untuk menghadapi tantangan-tantangan tersebut.
Konsili Vatikan I yang telah berakhir satu abad sebelumnya, sempat terhenti di tengah jalan. Konsili Vatikan I dihentikan tahun 1870 ketika Italia mau menyerang Vatikan dan Kepausan. Dalam Konsili Vatikan I, isu-isu mengenai pastoral dan dogma tidak dapat dibahas akibat perang tersebut, hanya sempat menghasilkan satu dogma mengenai infabilitas paus.
Kemudian secara tidak terduga Paus Yohanes XXIII memutuskan untuk memanggil sebuah konsili. Paus Yohanes XXIII ingin menghadirkan Gereja dalam zamannya atau yang dikenal dengan istilah “Aggiornamento”. Dalam satu kesempatan sorang jurnalis bertanya kepada Paus Yohanes XXIII apa yang beliau maksudkan dengan konsili? “Saya akan membuka jendela Gereja sehingga angin segar dengan bebas masuk ke dalamnya, sebab telah berabad-abad tertutup rapat” , katanya dengan singkat. Konsili inilah yang dinamakan Konsili Vatikan II.
Untuk mengetahui sejarah lahirnya Konsili Vatikan II tidak bisa kita pisahkan dari sosok Paus Yohanes XXIII. Walaupun Ia sendiri tidak bertahan hingga berakhirnya konsili, tetapi ia telah memberikan sumbangan yang besar bagi Gereja. Untuk mengetahui dengan lebih baik bagaimana lahirnya Konsili Vatikan II, penulis akan membahasnya secara lebih mendalam pada bagian berikutnya.

II. Biografi Singkat Paus Yohanes XXIII
Untuk mengetahui secara mendalam tentang Paus Yohanes XXIII dan terlebih mengenai sumbangannya yang begitu besar kepada Gereja melalui Konsili Vatikan II, maka perlulah kita mengetahu riwayat hidup dari sosok penting ini.
Paus Yohanes memiliki nama lahir Angelo giuseppe Roncalli, ia lahir di Soto il Monte, Italia Utara pada tanggal 25 November 1881. Beliau belajar theologi di Roma dari tahun 1905 hingga 1914. Ia kemudian diangkat menjadi sekretaris uskup Mgr. Radini Tedeschi yang sangat terkenal dengan jiwa sosialnya. Kemudian pada tahun 1915 hingga 1920, beliau mengerjakan sebuah misi apostolis sebagai seorang almusenir dalam ketentaraan, serta menjadi pembimbing rohani pada sebuah seminari. Tahun 1921 hingga 1924 ia bergabung sebagai kongregasi penyebaran imam, serta menjabat sebagai direktur karya-karya misi kepausan di Italia. Ia diangkat sebagai visitator apostolik untuk Bulgaria, serta ditahbiskan menjadi uskup dan selama tiga puluh tahun beliau bertugas di dalam diplomasi tahkta suci.
Di Bulgaria Mgr. Roncalli berusaha dan berhasil mengambil hati orang-orang yang pada waktu itu selalu berprasangka buruk terhadap Roma. Ia kemudian pindah ke Konstantinopel sebagai duta apostolik bagi Turki dan Yunani. Pada tahun 1953 beliau dilantik menjadi kardinal serta diangkat menjadi patriarch Venesia.

III. Sejarah Terpilihnya Paus Yohanes XXIII
Pada tahun 1958 Paus Pius XII meninggal dunia akibat penyakit yang telah lama dideritanya, maka pada tahun yang sama konklav memilih batrik Venetia, kardinal Roncalli menjadi paus. Ia kemudian mengambil nama Yohanes XXIII.
Pilihan ini amat mengejutkan dunia luar, sebab banyak orang mengenal Roncalli sebagai orang yang tidak banyak memiliki keistimewaan. Sebagai duta Vatikan di Bulgaria dan Prancis, banyak orang mengenalinya secara lebih baik. Banyak orang merasa kecewa dengan pemilihan paus yang telah berusia 77 tahun, gemuk dan pendek, yang tentunya sangat berbeda jauh dengan paus sebelumnya. Walaupun demikian, ia memiliki sifat bergaul yang hangat dan penuh keramahan. Akan tetapi banyak orang masih juga ragu kepadanya, sebab mereka sudah terbiasa dengan paus yang keras hidupnya, yang sering diidentikan dengan tubuh kurus dan jangkung.
Banyak orang mengatakan bahwa pemilihan paus Roncalli disebabkan karena konklav tidak kunjung menemukan paus yang sesuai untuk menduduki tahkta Santo Petrus. Maka Roncalli merupakan pilihan kompromi antara kardinal yang maju dan yang konserfatif, sehingga mereka menganggap bahwa Roncalli hanya merupakan paus antara saja.
Namun demikian, kepemimpinan Paus Yohanes XXIII ternyata banyak mengejutkan Gereja katolik dan dunia pada umumnya. Diantaranya ialah dihimpunkannya Konsili Vatikan II yang menghasilkan reformasi atas doktrin-doktrin Gereja katolik dan diwujudkannya rekonsiliasi antar umat beragama, suatu hal yang pada waktu itu tidak terbayangkan muncul dari kekuasaan tertinggi tahkta suci.
Walaupun masa pemerintahannya begitu singkat (sekitar 5 tahun lamanya), Paus Yohanes XXIII dianggap sebagai salah satu paus terbesar yang pernah ada dalam sejarah Gereja katolik. Ia sering disebut paus Yohanes yang baik dan juga diakui oleh orang anglikan dan protestan berkat jasahnya untuk menyatukan Gereja yang pecah.

IV. Paus Yohanes XXIII dan Konsili Vatikan II
Orang-orang yang beranggapan miring dan sangsi akan sosok Paus Yohanes XXIII pada akhirnya mulai bertobat. Kehidupannya yang saleh, sifat bergaulnya yang begitu hangat, membuat banyak orang kagum kepadanya. Ia juga dikenal sebagai sosok pemimpin yang sama sekali tidak suka terhadap protokoler upacara yang memenjarakan paus sejak abad pertengahan. Selain itu, ia juga ingin tampil sebagaimana adanya, membebaskan diri dari upacara-upacara resmi, tidak mencari popularitas, dan kehormatan pribadi.
Sejarah juga mencatat bahwa Gereja mengalami kegoncangan besar setelah Perang Dunia II (tahun 1939-1945) merupakan perang terbesar sepanjang sejarah: 55 juta orang tewas, 35 juta orang luka-luka, 8 juta orang hilang. Perang Dunia II menyebabkan kelumpuhan di berbagai bidang bahkan juga di bidang kesusilaan. Kemunduran kesusilaan akibat Perang Dunia II juga mempengaruhi kehidupan beragama. Dengan merosotnya nilai kesusilaan juga berpengaruh terhadap hidup keagamaan, sebab situasi pada saat itu sangat mendukung bagi orang-orang untuk lebih mementingkan ekonomi dari pada agama.
Gejala-gejala seperti ini, sungguh-sungguh dirasakan oleh umat katolik pada masa itu. Walaupun demikian, umat katolik, terutama para pemimpin umat mulai mencari jalan untuk mempertahankan keutuhan dan kesatuan Gereja Kristus di dunia. Hal ini juga diinginkan oleh Paus Yohanes XXIII.
Di luar usahanya membawa perdamaian dunia, Paus Yohanes XXIII melihat ternyata di dalam Gereja masih terdapat perbedaan pendapat sehingga tiga bulan setelah pemilihannya, yakni pada tanggal 25 Januari 1959, ia mengumumkan serta mengunkapkan keinginannya untuk memperbaharui Gereja melalui sebuah konsili ekumenis yang kemudian dikenal dengan nama Konsili Vatikan II, yang menentukan bagaimana posisi Gereja dalam dunia modern. Bahkan paus sendiri berjanji tidak akan campur tangan dalam pengambilan keputusan pada saat konsili. Keputusan ini bagaikan petir di siang bolong khususnya umat katolik terutama kuria Vatikan sendiri.
Keputusan Paus Yohanes XXIII mengejutkan banyak orang yang pada awalnya sudah ragu terhadap kemampuannya. Tidak munkin, sebab mereka menganggap bahwa Gereja harus berada di bawah kuria Roma saja. Memang di lain pihak banyak orang juga menginginkan suatu konsili ekumenis, untuk melanjutkan konsili Vatikan I yang sempat terputus di tengah jalan. Namun di pihak lain orang meragukan sebuah konsili sebab, pertemuan lebih dari 2000 uskup hanya menimbulkan kekacauan saja bukan pembaharuan. Alasan inilah yang membuat orang banyak ragu terhadap pemanggilan sebuah konsili oleh Paus Yohanes XXIII. Akan tetapi justru inilah yang menjadi tekat Paus untuk memperbaharui gereja, sebab ia yakin bahwa Roh Kuduslah yang berkarya di dalam dirinya.
Empat tahun setelah pemilihannya sebagai paus, pada tanggal 11 Oktober 1962, Paus Yohanes XXIII membuka secara resmi Konsili Vatikan II di Basilika Santo Petrus. Dalam khotbah pembukaannya, ia menolok pemikiran mengenai para “nabi-nabi palsu akhir zaman yang selalu meramalkan akan adanya bencana” di dunia dan masa depan Gereja. Ia juga menegaskan bahwa Gereja tidak perlu mengulangi maupun merumuskan kembali doktrin-doktrin dan dogma yang sudah ada, tetapi Gereja harus mewartakan pesan-pesan kristus dalam dunia moderen sekarang ini. Ia mendesak para Bapa Gereja untuk menunjukan belaskasihan bukan kecaman dalam dokumen-dokumen yang akan mereka buat. Konsili diawali denga doa yang dibawakan oleh Paus Yohanes XXIII sendiri:
“Sekarang kami sadar bahwa berabad-abad lamanya mata kami buta…kami mengerti bahwa pada dahi kami termeterai tanda kain. Abad demi adad saudara kami Abel berdarah serta menangis karena kesalahan kami, karena kami melupakan cinta-Mu. Ampunilah kutukan yang secara tidak adil telah kami datangkan pada nama Yahudi mereka. Ampuinilah kami yang menyalibkan Engkau keduakalinya yakni di dalam daging mereka, kami tidak sadar apa yang kami perbuat…
Tuhan, berilah kami kesempatan untuk berbalik dari jalan sesat yang kami tempuh di dalam sejarah dan sejarah Gereja. Berikanlah kami kesempatan berbalik dengan mengadakan pembaharuan yang konktrit”.

Sayangnya Paus Yohanes XXIII tidak dapat bertahan hingga konsili selesai. Ia meninggal dunia pada tanggal 3 Juni 1963 dalam umurnya yang ke 81 tahun di istana apostolik Vatikan.
Dua bulan sebelum ia meninggal, ia menerbitkan ensiklik atau ajarannya yang berjudul “Pacem in Teris” (Damai di Bumi) yang sangat terkenal, dimana dalam ensiklik tersebut Paus Yohanes XXIII telah mengemukakan ide tentang konstitusi pastoral Gereja pada zaman sekarang. Misinya untuk memperbaharui Gereja melalui Konsili Vatikan II dilanjutkan oleh Paus Paulus VI, yang terpilih pada tanggal 12 Juni 1963.
Melalui Konsili Vatika II, Gereja mengahasilkan 16 dokumen resmi. Dokumen resmi tersebut terdiri dari 4 konstitusi, 9 dektrit, dan 3 deklarasi. Konstitusi mengungkapkan landasan idiil, dekrit memuat tentang keputusan-keputusan yang menjadi program untuk dilaksanakan, dan deklarasi memuat tentang pernyataan serta sikap Gereja mengenai hal ikhwal tertentu.
Secara umum dokumen-dokumen Konsili Vatikan II membicarakan serta mencanangkan tentang pemahaman diri Gereja Katolik, pemahaman tempat, keseimbangan hak dan kewajiban dalam tatanan dunia dan masyarakat, serta merencanakan hala-hal apa saja yang menjadi program kerja Gereja pada masa yang akan datang.
Mengenai hubungan dengan bangsa-bangsa lain, Gereja merumuskan dengan tegas citranya dalam Konstitusi Dogmatik tentang: Terang bangsa-bangsa. Gereja adalah sakramen keselamatan, tanda dan sumber persatuan dalam cinta kasih.

V. Gerakan-gerakan yang Mendahului Konsili
A. Gerakan Liturgis
Salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap iman orang kristen pada saat itu ialah mengenai liturgi. Perayaan liturgi yang selama ini dilakukan kurang menggembirakan, sebab upacara liturgi itu sendiri terkesan kaku, dan menggunakan bahasa yang tidak dimengerti orang.
Gerakan ini bertujuan agar perayaan liturgi lebih mementingkan kebutuhan rohani umat beriman dan dengan demikian iman umat semakin bertambah. Oleh karena itu, dalam gerakan ini ditekankan kembali terutama pada pemakaian bahasa pribumi, eksperimen konselebrasi, komini dengan dua ujud, serta penyederhanaan pada tindakan-tindakan liturgi sehingga mudah dipahami oleh umat beriman.
Masalah lain yang menjadi persoalan di sini yakni mengenai pastoral. Dalam bidang pastoral Gereja berusaha mendekati umat beriman terutama bagi mereka yang jauh dari ligkungannya. Misalnya para buruh dan pekerja.
Tindakan Luther yang dikecam oleh Gereja Roma beberapa abad yang lalu, ternyata menjadi perhatian khusus dalam konsili. Misalnya masalah bahasa latin, dimana pada masa itu bahasa latin dipakai sebagai satu-satunya bahasa dalam liturgi. Dalam hal ini, Paus Pius XII juga simpatik terhadap gerakan pembaharuan. Dialah yang memperbaharui liturgi yakni ibadat malam sabtu paskah.

B. Aksi-aksi Katolik
Kelompok ini timbul dari para kaum awam intelektual yang bergabung dalam perkumpulan-perkumpulan dan gerakan-gerakan politis. Gerakan ini tidak terlibat langsung dalam politik paraktis namun mereka selalu berpihak pada Gereja. Gerakan ini terutama muncul di italia, Prancis dan Jerman.

C. Gerakan Ekumenisme
Gerakan ini lebih mengarah kepada keterbukaan dialog diantara umat beriman. Kesadaran akan persatuan diantara umat beriman, menjadi tujuan utama gerakan ini. Mereka sadar bahwa semua manusia memiliki cita-cita yang sama yakni menghantar umat manusia kepada Allah melalui perantaraan Kristus. Dalam hal ini, pembaharuan diarahkan kepada Gereja-gereja yang bukan katolik. Orang-orang katolik harus menerima saudara-saudara lain yang bukan katolik sebagai satu saudara, serta menjelaskan kepada mereka mengenai doktrin-doktrin katolik.
Gerakan ekumene ini mendapat semangat baru ketika terjadi pertemuan antara Gereja katolik dan Gereja ortodoks di Yerusalem pada tahun 1964. Gereja katolik diwakili oleh Paus Paulus VI sedangkan dari Gereja ortodoks diwakili oleh Batrik Athenagoras dari Konstantinopel.

VI. Penutup
Setelah melalui sebuah padang gurun yang begitu luas, Gereja pada akhirnya sampai pada sumber air yang menyejukkan. Konsili Vatikan II yang dibuka oleh Paus Yohanes XXIII dan ditutup oleh Paus Paulus VI, banyak membawa harapan baru bagi Gereja. Mata seluruh umat katolik dan dunia menentikan pemenuhan harapan tersebut. Maka kini telah kita lihat sendiri bahwa sudah kurang lebih 145 tahun berlalu dapat dikatakan bahwa harapan itu tidak sia-sia.
Konsili Vatikan II telah meletakan dasar bagi pengembangan pemikiran, gerakan pembaharuan serta peremajaan yang dapat bermanfaat bagi Gereja. Di atas landasan Konsili Vatikan II dibangun keterbukaan dialog, komunikasi dan kerja sama dengan semua aliran dan golongan dalam masyarakat. Denga demikian, kita sebagai generasi penerus Gereja Kristus di dunia, kita disadarkan kembali akan kewajiban dan tanggungjawabnya demi membangun suatu dunia baru yang lebih layak menurut citra dan gambar Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar