Sabtu, 05 Maret 2011

Filsafat Barat Abad XX

KARL JASPERS

“Manusia harus tahu siapa dia tadinya,
untuk menjadi sadar mungkin menjadi apa nantinya.
Masa lampaunya yang historis adalah
faktor dasar yang tidak bisa di hindarkan bagi masa depannya”
(Karl Jaspers)
(Oleh: Erick M. Sila)


I. Pendahuluan
Filsafat tidak mengenal apa yang disebut “titik nol yang mutlak” seperti dalam ilmu alam; ia tidak memulai dengan membuka selembar halaman yang masih kosong. Filsafat selalau berangkat dari manusia yang sudah memulai perjalanannya. Karl jaspers, seorang ahli filsafat eksistensialis merumuskan pendapat yang sama pada permulaan karya utama tentang filsafat.
Di dalam filsafat, Jaspers mulai mempertanyakan yang hakiki: apa itu?, siapakah aku?, apa yang harus saya lakukan? Jaspers mulai menyelidiki dasar-dasar keputusan manusia dan keyakinan yang menjadi dasar hidupnya. Melalui “orientasi dalam dunia” , Jaspers mengajak manusia untuk menjadi dirinya sendiri; mengembalikan manausia pada dirinya sendiri.
Pokok-pokok pikiran Karl Jaspers sangat tajam. Akan tetapi, untuk sampai kepada diri sendiri melalui “orientasi dalam dunia” manuasia mengalami “situasi-situasi batas”. Oleh karena itu, menurut Jaspers, manusia harus menemukan dirinya dalam perjumpaan dengan orang lain. Dalam hal ini, menurut Jaspers, walaupun perjumpaan dengan sesama memberikan pengertian yang baik tentang saya, akan tetapi saya tetap tinggal pada pertanyaan “Ada” yang sebenarnya. Ada sesuatu “Ada” yang lain yang melingkupi manusia dan dunia (das umbreifende), yaitu yang “transenden”. Gagasan-gagasan filosofis dari Karl Jaspers tersebut di ataslah yang membuat penulis tertrik untuk membahas secara khusus tokoh ini.

II. Riwayat Hidup
Karel Jasper lahir di Oldenburg, Jerman Utara, pada tanggal 23 Februari 1883 dari pasangan Wilhelm Jaspers dan Henriette Tantzen. Ayahnya adalah seorang ahli hukum yang bekerja pada sebuah bank, sedangkan ibunya berasal dari keluarga petani. Jaspers bersekolah dan belajar hukum selama tiga semester di universitas Heidelberg dan Mủnchen (1901-1902).
Sebagai spesialisasi ia memilih psikiatri dan pada tahun 1910 ia menikahi Getrad Mayer. Studi Jaspers mengenai psikiatri Allgemeine Psychopathologie (Psikologi Umum) menjadi buku pegangan yang masih tetap dipakai. Melalui prakteknya sebagai psikiater, Jaspers makin tertarik dengan masalah psikologi dan filsafat. Akhirnya pada tahun 1921, ia diangkat menjadi dosen di universitas Heidelberg.
Setelah perang dunia kedua berakhir Jaspers mengalami zaman kekemasan. Ia diangkat kembali menjadi guru besar dan senator universitas. Tahun 1948 ia menerima undangan untuk pindah ke universitas Basel di Swiss. Setelah itu, ia tetap tinggal di Basel dan memperoleh kewarganegaraan Swiss. Selama hidupnya, Jaspers menulis banyak buku dan artikel serta resensi dalam bidang psikologi, politik dan filsafat. Jaspers meninggal dunia di Basel pada tahun 1969.

III. Pokok-pokok Pikiran Jaspers
A. Filsafat Eksistensi
Filsafat pertama-tama tidak langsung bertanya tentang apa itu “Ada” atau “siapakah saya” atau “apa yang sesungguhnya saya inginkan”, akan tetapipertama-tama harus disadari bahwa manusia berada dalam situasi yang tidak pasti. Dengan demikian manusia terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Manusia yang sadar dalam situasi yang demikian ditantang terus untuk mencari “Ada” sampai didapatkan kepastian tentang dirinya. Manusia selalu dihadapkan kepada suatu ketidakpastian, apa yang harus saya lakukan agar hidup ini bermakna? Jalan mana yang harus dipilih?
Sebagai kenyataan manusia dibagi dalam dua segi. Di satu pihak manusia ada sebagai suatu fakta belaka, akan tetapi dilain pihak ai adalah eksistensi yang konkret dalam situasi ruang dan waktu. Sebagai eksistensi manusia menghayati dirinya sebagai suatu diri yang “menjadi”. Kita tidak bisa mempelajari manusia sebagai fakta belaka yaitu dengan menempatkan manusia sebagai objek terhadap kita.
Inilah cara kerja ilmu-ilmu pengetahuan terhadap manusia. Ilmu pengetahuan tidak akan pernah mencapai pengetahuan yang menyeluruh tentang manusia sebagai eksistensi yang bebas dan senantiasa bertindak berdasarkan pilihannya sendiri.
Dalam tulisan Philosophie,yang berjudul “orientasi dalam dunia”, dijelaskan bahwa manusia tidak akan menemukan makna hidup melalui “jalan pengetahuan” melainkan, demikian Jaspers, harus dicari dalam existenzerllung “penerangan eksistensi”. Bagi Jaspers eksistensi merupakan hal yang paling berharga dalam diri manusia.
Eksistensi merupakan aku yang sebenarnya yang tidak dapat dicapai dari yang umum melainkan harus diterangi dari dirinya sendiri. Eksistensi adalah penghayatan mengenai kebebasan total yang merupakan inti manusia. Eksistensi yang demikian itu tidak dapat direalisasikan sendiri-sendiri tanpa ikatan eksistensial dengan eksistensi lain. Malainkan hanya dalam komunikasi dengan orang lain dalam suatu perjumpaan sejati.
Jaspers dalam hal ini menjelaskan bahwa eksistensi hanya mungkin malalui kehidupan bermasyarakat. Ini berarti manusia dalam hidupnya selalu berada dalam situasi-situasi yang bersifat sosial. Ia menambahkan bahwa cara manusia berhubungan dengan lingkungan sosial bermacam-macam. Ada yang menyerah saja pada situasi sosial yang ada tanpa mempertahankan dirinya sendiri sebagai suatu kesejatian, dengan demikian membiarkan dirinya hanyut dalam kehidupan bersama tanpa identitasnya sendiri. Bagi Jaspers yang penting adalah cara bagaimana berkomunikasi dengan situasi-situasi sosial tanpa kehilangan jati diri atau kesejatian pribadi.
Tetapi puncak komunikasi menurut Jaspers adalah dalam komunikasi eksistensial yang dapat terjadi secara tiba-tiba, dan tidak melalui kata-kata. Dua orang saling mengerti seolah-olah dari dalam dan terjadi secara spontan dan saling membuka diri satu terhadap yang lain secara suka rela. Manusia sadar akan eksistensinya sendiri karena bergaul dengan orang lain.

B. Situasi-situasi Batas
Perjumpaan manusia yang satu dengan yang lain melalui komunikasi, manusia menjadi sadar akan eksistensinya sendiri. Komunikasi bukanlah suatu-satunya jalan untuk menerangi eksistensi.
Jaspers menolak anggapan bahwa eksistensi dihayati sebagai suatu yang final. Eksistensi justru tidak berkepastian dan tidak final, yang benar adalah adanya situasi-situasi batas yang kita akui sebagai eksistensi kita masing-masing. Beberapa situasi-situasi itu antara lain: keterikatan kita kepada situasi-situasi tertentu; situasionalitas. Situasi batas ;lainya ialah penderitaan. Manuasia adalah mahkluk yang oleh kodratnya harus mengalami penderitaan; ia bisa menderita penyakit, kelaparan, kesengsaraan dan sebagainya. Situasi batas lain yang sering kali dibahas oleh para ahli eksistensi adalah: rasa- salah dan maut.
Manusia, menurut Jaspers, adalah penaggung kesalahan-kesalahan atau dosa-dosa sebagai kemungkinan yang tidak bisa dihindari. Akan tetapi situasi batas yang paling pasti adalah maut.
Situasi-situasi batas yang dialami manusia seperti di atas, semakin menjadikan manusia bereksistensi secara sungguh-sungguh. Akan tetapi, manusia belum sampai kepada “Ada” yang sebenarnya. Semakin manusia sadar akan keterbatasannya di dunia ini, semakin jelas juga bahwa ada sesuatu di seberang batas-batas ini. Bagi Jaspers, hal semacam ini disebut “transendensi” atau “keilahian”.

C. “Transendensi” atau “Keilahian”
Eksistensi mencapai puncaknya di sini. Eksistensi manusia telah mendapat sebuah arti religius. Akan tetapi, pengalaman eksistensial akan yang transenden tidak memberikan jawaban yang pasti sebab, yang transenden tidak kita kenal karena kita hanya memikirkannya secara objektif saja. Oleh karena itu, menurut Jaspers kita hanya bisa berbicara tentang yang transenden secara simbolis saja.
Berbicara tentang transendensi atau Allah tidak memberikan suatu kepuasan sebab, hanya melalui simbol-simbol sajalah (chiffren) kita dapat menafsirkannya sebagai jejak Allah (Vestigia Dei).
Maka kita harus memulai dengan sebuah dialog yang sehat dan yang sangat dibutuhkan. Inti “iman falsafi” itu sama dalam segala zaman dan berlaku bagi semua kebudayaan. Dimana diajarkan secara umum bahwa Allah benar-benar ada, bahwa manusia harus memilih yang baik tanpa syarat, juga bahwa dunia bukan merupakan kenyataan terakhir, dan bahasa cinta telah membuktikan bahwa Allah ada. Atas dasar iman ini, orang dari setiap agama bertemu. Pengenalan lain mengenai Allah memang hanya merupakan chiffer.
Kepastian tak tergoyahkan memang tidak akan dicapai dalam kehidupan ini tetapi, pengalaman akan Allah dalam hidup sehari-hari telah memberi jawaban bahwa Allah ada, sebab Ia telah memberikan makna itu dalam segal sesuatu.

IV. Penutup
Manusia dalam hidupnya selalu dilingkupi dengan sebuah ketidak pastian. Dengan demikian manusia ditantang untuk mencari suatu “ada” sehingga pada akhirnya sampai pada dirinya yang sesungguhnya.
Jaspers merumuskan hal ini dengan jelas bahwa untuk sampai kepada hal itu, harus dicapai dengan ”existensellung” atau suatu “penerangan” melalui orientasi dalam dunia.
Melalui orientasi dalam dunia manusia diajak untuk kembali kepada dirinya sendiri. Akan tetapi, manusia selalu dilingkupi oleh situasi-situasi batas. Oleh sebab itu, harus menemukan diri dalam relasi yang hangat dengan sesama dengan penuh cinta.
Perjumpaan dengan sesama belum memberikan jawaban akan siapa “ada” sebenarnya. “ada” yang sebenarya yang lain yang melingkupi dunia dan manusia (das umbreifende) yaitu transenden atau yang Ilahi.
Pemikiran Karl Jaspers mau tidak mau menjadi semacam kritik (dan barang kali pedoman bertinbak) bagi kita manusia-manusia zaman sekarang – untuk berbenah diri menjadi manusia yang seutuhnya dan sebenarnya, bukan manusia yang ugal-ugalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar